Bicara masalah advokasi
sangatlah luas, karena advokasi sendiri dari masa ke masa mengalami perubahan
atau fleksibel tergantung pada keadaan politik, atau kekuasaan yang sedang
berkuasa. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan. Ada beberapa
pendapat yang mendefinisikan advokasi, yaitu:
a.
Usaha-usaha terorganisir untuk membawa
perubahan-perubahan secara sistematis dalam menyikapi suatu kebijakan,
regulasi, atau pelaksanaanya (Meuthia Ganier)
b.
Advokasi adalah pembangun organisasi-organisasi
demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa bertanggung jawab menyangkut
peningkatan keterampilan serta pengertian rakyat tentang bagaimana kekuasaan
itu bekerja
c.
Upaya terorganisir maupun aksi yang menggunakan
sarana-sarana demokrasi untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan
kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata (Institut
Advokasi Washington DC)
Dari beberapa difinisi
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa advokasi ialah sebagai bentuk upaya
melakukan pembelaan rakyat (masyarakat sipil) dengan cara yang sistematis dan
terorganisir atas sikap, perilaku, dan kebijakan yang tidak berpihak pada
keadilan dan keyakinan
Konsep Advokasi
Banyak
orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara
dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di
pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap
apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan
sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum
semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak
sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh
yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat
yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita
mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka
pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa
Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini
Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam
bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti
menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan
kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara
terorganisir dan sistematis.
Menurut
Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir
untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik
secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan
advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang
terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah
untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz,
advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan
dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda
kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah
tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita
dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku,
strategi, ruang lingkup dan tujuan.
Mengingat
advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka
advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan
memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan
merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong
terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik.
Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan
sosial.
Penegasan
ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada
kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau
organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan
sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah.
Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan
pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan
sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi
miskin.
Membantu
orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang tidak salah,
bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak dapat
menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan
tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan
masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya
masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.
Advokasi: Kerangka Analisis, Kerangka Kerja
dan Kerangka Jaringan
Mengingat advokasi
merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai
dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan
tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik
itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan
publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu sistem hukum.
Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:
Pertama, isi hukum (content of
law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang
tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya
‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah
(teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.
Kedua, tata laksana hukum (structure
of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum
yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan,
penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim,
jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen).
Ketiga, adalah budaya hukum (content
of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek
pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan
tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program
advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian,
suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis
didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun
budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu
yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum
tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.
Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek
hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek
hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri.
Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan
menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:
Proses-proses legislasi dan juridiksi,
yakni kegiatan pengajuan
usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk
melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau
ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi
keputusan-keputusan hukum selanjutnya.
Proses-proses politik dan birokrasi,
yakni suatu upaya atau
kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai
strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan
sebagainya.
Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi,
yakni suatu kegiatan
untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye,
siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik,
diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik
yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan
terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu
melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.
Mengingat advokasi
merupakan pekerjaan yang memiliki skala cukup besar (karena sasaran perubahan
ada tiga aspek), maka satu hal yang sangat menentukan keberhasilan advokasi
adalah pada strategi membentuk jaringan kerja advokasi atau jaringan kerja
organisasi. Pasalnya kegiatan advokasi adalah pekerjaan multidimensi, sehingga
dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dengan spesifikasi keahlian yang berbeda
dalam satu koordinasi yang sistematis dan terpadu. Sebagai catatan, tidak ada
satu organisasipun yang dapat melakukan sendiri kegiatan advokasi tanpa ada
jaringan atau dukungan dari kelompok lainnya. Justru semakin besar keterlibatan
berbagai pihak, akan semakin kuat tekanan yang dapat diberikan dan semakin
mudah kegiatan advokasi dilakukan.
Untuk membentuk jaringan
organisasi advokasi yang kuat, dibutuhkan bentuk-bentuk jaringan yang memadai.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk jaringan organisasi advokasi yang satu
sama lainnya memiliki fungsi dan peranan advokasi yang berbeda, namun berada
pada garis koordinasi dan target yang sama :
Jaringan kerja garis
depan (front lines) yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi
untuk menjadi juru bicara organisasi, melakukan lobi, melibatkan diri dalam
aksi yuridis dan legislasi serta penggalangan lingkar sekutu (aliansi).
Tentunya pihak-pihak yang hendak terlibat dalam kegiatan advokasi jaringan
kerja garis depan setidaknya harus memiliki teknik dan ketrampilan untuk
melakukan tugas dan fungsi jaringan ini.
Jaringan kerja basis
yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan kerja-kerja
pengorganisasian, membangun basis massa, pendidikan politik kader, mobilisasi
aksi dan membentuk lingkar inti. Jaringan kerja pendukung yakni jaringan kerja
yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung kerja-kerja advokasi dengan cara
mengupayakan dukungan logistic, dana, informasi, data dan akses. Berhasil atau
tidaknya advokasi yang kita lakukan sangat tergantung dari penyusunan strategi
yang kita buat. Oleh karena itu dalam menyusun strategi advokasi harus
mempertimbangkan beberapa aspek penting yang sangat menentukan keberhasilan
advokasi.
Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:bahwa
dalam advokasi kita harus menentukan
target yang jelas.Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam
apa yang akan kita ubah. Apakah itu UU, Perda atau produk hukum lainnya.kita
juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah
dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari
masalah dan kebijakan yang akan diubah.
Realistis. Artinya bahwa kita tidak
mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public. Oleh karena itu kita harus
menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada
bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan atau yang lainnya.
Batas waktu yang jelas. Alokasi
waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan
advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai. dukungan logistik. Dukungan
sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan
advokasi
Cara Melakukan Advokasi
Advokasi untuk menuntut perubahan
kebijakan dapat dilakukan dengan cara yang yang biasa dinamakan dengan langkah
legislasi. Misalnya, counter draf (pengajuan konsep-konsep tanding), judicial
review (hak uji materiil) atau langkah-langkah ligitasi dengan menguji di
pengadilan lewat satu kasus.
Penggunaan lobi, strategi negosiasi,
mediasi dan kolaborasi. Hal ini memerlukan jaringan yang kuat dan luas. Paling
tidak ada tiga kekuatan yang menjadi basis dukungan, pertama, kerja
pendukung yang menyediakan dukungan dana, logistik informasi dan akses, kedua,
kerja basis menjadi dapur gerakan dalam membangun basis masa, lewat pendidikan
kader atau membentuk lingkar inti dan melakukan mobilisasi aksi, dan ketiga,
kerja garis depan yang menjalankan fungsi sebagai juru bicara, perunding,
pelobi, dan terlibat dalam upaya penggalangan dukungan.
Melakukan kampanye, siaran pers, unjuk
rasa, mogok, boikot, pengorganisasian basis dan pendidikan politik. Melaui
pemanfaatan jaringan yang ada, pertama, lingkaran inti yaitu mereka yang
tergolong sebagai penggagas, pemrakarsa pendiri, penggerak utama sekaligus
pengendali arah kebijakan, tema atau isu dari sasaran advokasi. Biasanya
kelompok inti adalah mereka yang mempunyai kesamaan ideologi. Kedua,
adalah jaringan sekutu, yang melakukan kerja-kerja aksis, biasanya terdiri dari
mereka yang mempunyai kesamaan kepentingan.
0 komentar:
Posting Komentar